Intelektual Muslim Di Indonesia
Peran Intelektual Muslim Di Kalangan Sosial Masyarakat
Dalam tatanan social masyarakat, interaksi antar social sering mengalami perubahan walaupun ia seorang intelektual. Tidak seperti intelektual di negara maju, kehidupan para intelektual di Indonesia kurang lebih seperti Amerika pada waktu Perang Dunia I, yang mana mereka lebih memfokuskan diri untuk terlibat dalam membentuk sebuah kebijakan dan perlawanan terhadap ideologi.
Usaha dalam melakukan komunikasi antara intelektual dan masyarakat yang berkembang di Indonesia, memiliki beberapa jenis metode komunikasi menurut perkembangan zamannya :
NO. | Cara Komunikasi | Hubungan Sosial | Sifat Komunikasi |
1. | Lisan | Kiai dan Santri | Tertutup |
2. | Tulisan | Guru dan Murid | Perantara |
3. | Media Teknologi | Elite dan Massa | Terbuka |
A. Lisan.
Cara komunikasi yang dilakukan secara lisan (getok tular = mulut ke mulut), biasanya dilakukan oleh kalangan social seperti kiai dan santri. Peran seorang kiai dalam tatanan social khususnya sebelum abad ke-20 sangat intim sekali dan sangat dominan terhadap para santrinya. Hubungan komunikasi yang vertical tersebut juga sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat baik dan buruk, boleh dan tidak untuk para santrinya, dan tentu hal itu juga sangat terkait dengan dunia luar yang sedang marak-maraknya perkembangan banyak faham, pemikiran atau ideologi di msyarakat.
Namun, terkadang hubungan secara vertical tersebut seringkali melahirkan sebuah pemikiran yang sectarian dan parokial dalam tatanan social masyarakat yang bermajemuk. Walaupun begitu metode komunikasi yang dilakukan oleh para kiai tersebut juga sangat penting sekali khususnya dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajahan, dengan memegang legitimasi seorang yang kharismatik di kalangan social para kiai mampu menggalang massa yang besar dari banyak kalangan (santri, elit, petani, buruh dsb) untuk melakukan sebuah perlawanan terhadap para penjajah. Di sisi lain hubungan tersebut juga melahirkan suatu solidaritas antar kalangan social yang sangat baik dan benar-benar terbentuk menjadi satu perjuangan tanpa alasan dan tujuan gerakannya. Sehingga pada tahun 1825-1830 di Jawa benar-benar menjadi sebuah perlawanan yang sangat besar dari para kiai dan semua lapisan social masyarakat di bawah panji-panji semangat agama yang digelorakan oleh para kiai.
B. Tulisan.
Seiring berkembangnya waktu, teknologi juga semakin berkembang di kalangan social masyarakat. Pada abad ke-20 masyarakat mulai menggunakan media cetak seperti buku, surat kabar dan majalah untuk berkomunikasi. Sekolah-sekolah mulai berdiri dan secara tidak langsung mulai menggantikan system pesantren yang telah lama berdiri di kalangan masyarakat. Selain menggantikan istilah kiai dan santri yang berubah menjadi guru dan murid, pemerintah mulai mengembangkan sekolah-sekolah untuk para elit dan masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh dan komunikasi para kiai kepada masyarakatnya. Pengaruh perang Jawa 1825-1830 menjadi factor pentingnya keberlangsungannya eksistensi pemerintah koloial Hindia Belanda.
Pada masa perkembangan tulisan tersebut, juga melahirkan hubungan antar pimpinan dan anggota dalam sebuah organisasi dengan ditandai terbentuknya Sarekat Islam, NU, Muhammadiyah dsb. Hal itu juga membentuk sebuah identitas baru bagi beberapa fraksi, seperti pantalon yang biasa diidentikkan pada masyarakat Muhammadiyah dan pecis, sarung yang biasa diidentikkan pada masyarakat NU.
C. Media Teknologi.
Perkembangan tulisan yang sedang berjalan, juga terus mengembangkan beberapa teknologi baru yang juga mempengaruhi dalam komunikasi antar social masyarakat. Televisi, radio membuat istilah santri menjadi semakin sempit, yang mana istilah santri berkembang tidak lagi dengan bertemu langsung dengan kiai atau guru melainkan cukup menonton atau mendengarkan para kiai melalui platfom media elektronik.
Seiring berkembangnya waktu, perkembangan media teknologi juga melahirkan beberapa fraksi kecil yang bisa menjadi counter cultur seperti Jamaah Tabligh yang ingin Kembali ke zaman Nabi, Islam Jamaah yang membawa konsep manqul (mengembalikan Islam pada otoritas amir, Darul Arqam yang ingin melawan komersialisme. Hal itu tentu menjadi sebuah pandangan luar yang merelatikan sesuatu yang sudah menjadi mutlak di kalangan social dan dapat menjad sebuah reduksi atas budaya, nilai atau faham yang berlaku.
Selain itu, para intelektual juga mulai berkembang melalui Lembaga-lembaga seperti LSM, kampus, bank, partai politik dan lain sebagainya. Hal itu juga membuat istilah umat menjadi semakin menyempit lagi dan perlu penafsiran lagi akan istilah umat tersebut.
Berdasarkan itu semua, tidak dapat seseorang mengatakan dirinya mewakili dari Islam melainkan hanya mewakili dirinya dari salah satu fraksi yang ia ikuti. Para intelektual muslim tidak lagi memiliki konstituensi yang tetap dan juga terkadang kehilangan posisi dirinya dalam sebuah tatanan social masyarakat. Hilangnya pengaruh para intelektual muslim tersebut juga menghilangkan legitimasi historisnya dan membuat umat dalam keadaan yang krisis dan belum mendapatkan pemecah masalahnya.
Sumber referensi :
1. Prof. Dr. Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid).
2. Prof. Dr. Peter Carey (Kuasa Ramalan).
3. Prof. Dr. MC. Ricklef (Islam dan Jawa).
Posting Komentar untuk "Intelektual Muslim Di Indonesia"